MAKALAH KORUPSI "Kasus Korupsi Angelina Sondakh"

MAKALAH KORUPSI "Kasus Korupsi Angelina Sondakh"

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagaisuatu proses perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-orang yang terlibat sejak dari perencanaan sampai pada pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantara dua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya. Negara yang korupsi bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi.Korupsi di negara-negara di dunia, dewasa ini sudah merupakan patologi social (penyakit sosial) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislatif.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai Korupsi, yangdijabarkan dalam rumusan masalah dibawah.

  1. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang Masalah yang telah dijelaskan diatas, maka dapat kita simpulkan Rumusan Masalah sebagai berikut:
  1. Apakah Pengertian dari Korupsi?
  2. Apa saja Teori-teori dasar Korupsi?
  3. Apakah Motif Yang Mendasari Terjadinya Korupsi?
  4. Seperti apa Ruang Lingkup dan Bentuk Korupsi?
  5. Bagaimana Pola Penindakan Korupsi serta Contoh Kasusnya?
  6. Apakah Dampak dari terjadinya Korupsi?
  7. Tujuan Penulisan
  8. Untuk mengetahui Pengertian dari Korupsi;
  9. Untuk mengetahui Teori-teori Dasar Korupsi;
  10. Untuk mengetahui Motif yang mendasari terjadinya Korupsi;
  11. Untuk mengetahui Ruang Lingkup dan Bentuk dari Korupsi;
  12. Untuk mengetahui Pola Penindakan Korupsi beserta contoh kasusnya;
  13. Untuk mengetahui Dampak Korupsi.

BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Korupsi
Pengertian atau asal kata korupsi menurut Fockema Andrea dalam Andi Hamzah, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus yang selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari kata asal corrumpere,suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie), dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”.
Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan,  dan merugikan kepentingan umum.Dalam Kamus Umum Belanda Indonesia yang disusun oleh Wijowasito, corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam bahasa Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.
Pengertian dari korupsi secara harfiah menurut John M. Echols dan Hasan Shadaly, berarti jahat atau busuk, sedangkan menurut A.I.N. Kramer SRmengartikan korupsi sebagai ; busuk, rusak atau dapat disuap.
Pengertian korupsi menurut Gurnar Myrdal dalam bukunya Asian Drama, Volume II adalah :
To include not only all forms of improper or selfish exercise of power and influence attached to a public office or the special position one occupies in the public life but also the acivity of the bribes.
“Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintahan, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan.”Kemudian arti korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, disimpulkan oleh Poerwadarminta : “Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.”
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk sampai ke seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara serta dari segi kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan semakin sistematis yang telah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Harus kita sadari meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.
Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama ini dilakukan secara konvensial terbukti telah mengalami berbagai hambatan. Dengan demikian, diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewengangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional, serta berkesinambungan.
Badan khusus yang dimaksud adalah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervise, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sedangakan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban diatur dengan undang-undang. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.
Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dan masyarakatnya, membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan dapat pula merusak nilai-nilai demokrasi derta moralitas bangsa karena dapat berdampak membudayanya tindak pidana korupsi tersebut.

BAB III
LANDASAN TEORI
Ada beberapa teori dasar yang menjelaskan tentang korupsi. Teori itu antara lain:
  1. Teori Vroom
P = f (A x M)
P = Performance
A = Ability
M = Motivation
Berdasarkan Teori Vroom, kinerja (performance) seseorang tergantung pada tingkat kemampuannya (ability) dikalikan dengan motivasi (motivation). Kemampuan seseorang berbanding lurus dengan tingkat pendidikan yang dimilikinya. Jadi, dengan tingkat motivasi yang sama seseorang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Namun, permasalahannya tidak sesederhana itu masih ada rumusan Vroom mengenai motivasi (motivation) seseorang yaitu:
M = f (E x V)
M = Motivation
E = Expectation
V = Valance/Value
Motivasi tergantung pada harapan (expectation) orang yang bersangkutan dikalikan dengan nilai (value) yang terkandung dalam setiap pribadi seseorang. Jika harapan seseorang adalah ingin kaya, maka ada dua kemungkinan yang akan dia lakukan. Jika nilai yang dimiliki positif maka, dia akan melakukan hal-hal yang tidak melanggar hukum agar bisa menjadi kaya. Namun jika dia seorang yang memiliki nilai negatif, maka dia akan berusaha mencari segala cara untuk menjadi kaya sehingga muncullah korupsi sebagai jalan pintas.
  1. Teori Kebutuhan Maslow
Teori Kebutuhan Maslow tersebut menggambarkan hirarki kebutuhan dari paling mendasar (bawah) hingga naik paling tinggi adalah aktualisasi diri. Kebutuhan paling mendasar dari seorang manusia adalah sandang dan pangan (physical needs). Selanjutnya kebutuhan keamanan adalah perumahan atau tempat tinggal, kebutuhan sosial adalah berkelompok, bermasyarakat, berbangsa. Ketiga kebutuhan paling bawah adalah kebutuhan utama (prime needs) setiap orang. Setelah kebutuhan utama terpenuhi, kebutuhan seseorang akan meningkat kepada kebutuhan penghargaan diri yaitu keinginan agar kita dihargai, berperilaku terpuji, demokratis dan lainya. Kebutuhan paling tinggi adalah kebutuhan pengakuan atas kemampuan kita, misalnya kebutuhan untuk diakui sebagai kepala, direktur maupun walikota yang dipatuhi bawahannya.
  1. Teori Klitgaard dan Ramirez Torres
Teori Klitgaard:
C = M + D – A
C = Korupsi
M= Monopoly of Power
D= Discretion of official
A= Accountability
Menurut Robert Klitgaard, monopoli kekuatan oleh pimpinan (monopoly of power) ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang (discretion of official) tanpa ada pengawasan yang memadai dari aparat pengawas (minus accountability), maka akan terjadi korupsi.Perubahan pola pemerintahan yang tersentralisasi menjadi terdesentralisasi dengan adanya otonomi daerah telah menggeser praktik korupsi yang dahulu hanya didominasi oleh pemerintah pusat kini menjadi marak terjadi di daerah. Hal ini selaras dengan teori Klitgaard bahwa korupsi mengikuti kekuasan.
Teori Ramirez Torres:
Rc > Pty x Prob
Rc = Reward
Pty=Penalty
Prob=Probability (kemungkinan tertangkap)
Korupsi adalah kejahatan kalkulasi atau perhitungan (crime of calculation) bukan hanya sekedar keinginan (passion). Seseorang akan melakukan korupsi jika hasil yang didapat dari korupsi tinggi dan lebih besar dari hukuman yang didapat serta kemungkinan tertangkap kecil.
  1. Teori Jack Bologne (GONE)
Menurut Jack Bologne akar penyebab korupsi ada empat, yaitu
G =
     O =
N =
E =
Greedy
Opportunity
Needs
Expose
Greed, terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi. Koruptor adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya. Opportuniy, sistem yang memberi peluang untuk melakukan korupsi. Need, sikap mental yang tidak pernah merasa cukup, selalu sarat dengan kebutuhan yang tidak pernah usai. Exposes, hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi yang tidak memberi efek jera pelaku maupun orang lain.
  1. Motif Terjadinya Korupsi
Untuk memahami masalah korupsi yang begitu meluas di berbagai negara khususnya pada negara berkembang, harus dikaitkan bahwa korupsi seolah-olah sebagai satu keharusan dan tidak terpisahkan dengan negara-negara berkembang. Korupsi sesungguhnya merupakan suatu proses yang berhubungan dengan latar belakang sejarah bangsa atau negara yang bersangkutan. Tanpa memahami latar belakang budaya dan sejarahnya, diagnosis dan terapi yang dilakukan untuk pemberantasan atau penanggulangan korupsi bisa saja keliru, yang akan berakibat besar dan merupakan masalah tersendiri karena tindakan-tindakan penanggulangan yang diterapkan tidak akan efektif.
Motif, penyebab, atau pendorong seseorang untuk melakukan tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beranekaragam. Akan tetapi, secara umum dapat dirumuskan, bahwa tindakan korupsi dilakukan dengan tujuan mendapat keuntungan pribadi, keluarga, kelompok, golongannya sendiri. Dengan mendasarkan pada motif keuntungan pribadi atau golongan ini, dapatlah dipahami jika korupsi terdapat dimana-mana dan terjadi kapan saja karena masalah korupsi selalu terkait dengan motif yang ada pada tiap insan manusia untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau golongannya.
Cara yang ditempuh menurut norma-norma yang berlaku merupakan usaha yang bersifat halal dan ridha. Cara korupsi yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan tidak mengikuti dan didasari norma-norma yang berlaku, jelas bahwa hal ini tidak halal dan tidak diridhai. Apabila tindakan atau usaha ini dilakukan dengan penggunaan dan atau penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang atau kesempatan kerja dengan persyaratan seperti dirumuskan dalam pengertian kerja, usaha ini dikategorikan tindakan korupsi.
Banyak faktor yang mempengaruhi motif untuk melakukan tindakan korupsi yang menginginkan keuntungan pribadi atau golongan. Menurut komisi IV, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan meluasnya korupsi di Indonesia, yakni.
  1. Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi
  2. Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri, dan
  3. Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.
Komisi IV juga menyatakan, kemungkinan meluasnya perbuatan korupsi berhubungan dengan meningkatnya kegiatan dalam bidang ekonomi pembangunan, seperti perluasan perkreditan, bantuan luar negeri dan penanaman modal asing.
Menurut Dr. Sarlito W, tidak ada jawaban yang persis untuk menjawab alasan apa yang mendorong terjadinya korupsi, tetapi ada dua hal yang jelas, yaitu faktor rangsangan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya) dan faktor rangsangan dari luar (misal dorongan dari teman-teman, adanya kesempatan, dan kurang kontrol dan sebagainya.
A.S. Harris Sumidiria menjawab bahwa korupsi lahir karena ambruknya nilai-nilai sosial, korupsi kambuh karena adanya penyalahgunaan tujuan wewenang dan kekuasaan, dan korupsi hidup karena sikap dan mental pejabat yang bobrok, baik pejabat tinggi maupun pejabat rendahan. Dr. Andi Hamzah dalam disertasinya menginventariskan beberapa penyebab korupsi, yakni kesan yang berlebih-lebihan, seolah-olah telah tersebar luas, terutama di kalangan pejabat tinggi. Rasa khawatir akan membesarnya kesan inilah yang menyebabkan Nehru secara terus-menerus menolak tuntutan-tuntutan agar dia membersihkan pemerintahannya dan birokrasi negara dari korupsi. “Berteriak keras-keras bahwa setiap orang berbuat korupsi hanya akan menciptakan iklim korupsi,” katanya. “Rakyat akan berpendapat bahwa mereka hidup dalam iklim korupsi dan karena itu akan melakukan korupsi pula”.
Dengan mempertimbangkan pandangan Nehru mengenai dongeng rakyat tentang korupsi tersebut, mungkin perlu pula dipertimbangkan tentang strategi atau taktik untuk penanggulangan dan pemberantasan korupsi, apakah perlu dilaksanakan secara sensional ataukah secara tenang-tenang atau diam-diam tetapi dengan langkah-langkah yang pasti, terencana, operasional, dan efektif. Di samping itu, mungkin terdapat pula aspek lain yang perlu dipertimbangkan dalam masalah ini, yakni tentang kemungkinan adanya golongan tertentu (politik misalnya) memang dengan sengaja mengobarkan api desas-desus dongeng rakyat tentang korupsi ini.
Apabila diinventarisasikan, banyak sekali faktor-faktor yang dapat disebut sebagai penyebab timbul, lahir, tumbuh, serta perkembangan korupsi, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Diantara sekian banyak faktor ini, James C. Scot mengemukakan beberapa hal yang secara khusus memiliki hubungan dengan aspek politik dan pemerintahan, yakni:
  1. Sistem politik resmi belum sepenuhnya diterima dan masih lemah landasan hukumnya dibandingkan dengan ikatan keluarga dan suku yang masih kukuh;
  2. Pemerintah penting sebagai sumber pekerjaan dan mobilits sosial;
  3. Ada golongan-golongan elite yang kaya raya yang tidak diberi kesempatan mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah secara langsung dan terbuka;
  4. Tidak ada kemauan yang sungguh-sungguh untuk hidup berlandaskan hukum yang berlaku di pihak golongan-golongan elite maupun dipihak rakyat banyak.
  5. Ruang Lingkup dan Bentuk Korupsi
Asal mula berkembangnya korupsi barangkali dapat ditemukan sumbernya pada fenomena sistem pemerintahan monarki absolut tradisional yang berlandaskan pada budaya feodal. Pada masa lalu, tanah-tanah di wilayah suatu negara atau kerajaan adalah milik mutlak raja, yang kemudian diserahkan kepada para pangeran dan bangsawan yang ditugasi untuk memungut pajak, sewa dan upeti dari rakyat yang menduduki tanah tersebut. Disamping membayar dalam bentuk uang atau in natura, sering pula rakyat diharuskan membayar dengan hasil bumi serta dengan tenaga kasar, yakni bekerja untuk memenuhi berbagai keperluan sang raja atau penguasa. Elite penguasa yang merasa diri sebagai golongan penakluk, secara otomatis juga merasa memiliki hak atas harta benda dan nyawa rakyat yang ditaklukkan. Hak tersebut biasanya diterjemahkan dalam tuntutan yang berupa upeti dan tenaga dari rakyat (Onghokham, 1995).
Seluruh upeti yang masuk ke kantong para pembesar ini selain dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pembesar itu sendiri, pada dasarnya juga berfungsi sebagai pajak yang dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan negara. Hanya saja, belum ada lembaga yang secara resmi ditunjuk sebagai pengumpul pajak, sehingga para pembesar atau pejabat tadi juga merangkap sebagai pengumpul dana (revenue gathering). Parahnya, kedudukan dalam pemerintahan sebagai pembesar atau pejabat ini dapat diperjualbelikan (venality of office), yang menyebabkan pembeli jabatan tadi berusaha untuk mencari kompensasi atas uang yang telah dikeluarkannya dengan memungut upeti sebesar-besarnya dari rakyat.
Pada masa-masa sesudahnya, kondisi ini ternyata memperkuat sistem patron – client, bapak anak, atau kawula – gusti, dimana seorang pembesar sebagai patron harus dapat memenuhi harapan rakyatnya, tentu saja dengan adanya timbal balik dari rakyat sebagai client-nya. Hubungan patron – clientini merupakan salah satu sumber korupsi, sebab seorang pejabat untuk membuktikan efektivitasnya harus selalu berbuat sesuatu tanpa menghiraukan apakah ini untuk kepentingan umum atau kepentingan kelompok bahkan perorangan, yakni para anak buah yang seringkali adalah saudaranya sendiri. Selain itu, sistem patron – client juga menjadi faktor perusak koordinasi dan kerjasama antar para penguasa, dimana timbul kecenderungan persaingan antara para penguasa, dimana timbul kecenderungan persaingan antara para pejabat untuk menganakemaskan orangnya. Disinilah faksionalisme dikalangan elite menjadi berkepanjangan.
Korupsi yang sekarang merajalela di Indonesia, berakar pada masa tersebut ketika kekuasaan bertumpu pada birokrasi patrimonial yang berkembang pada kerangka kekuasaan feodal dan memungkinkan suburnya nepotisme. Dalam struktur kekuasaan yang demikian, maka penyimpangan, penyuapan, korupsi dan pencurian akan dengan mudah berkembang (Mochtar Lubis, 1995).
Dalam perkembangan selanjutnya, dapat dilihat bahwa ruang lingkup korupsi tidak terbatas pada hal-hal yang sifatnya penarikan pungutan dan nepotisme yang parah, melainkan juga kepada hal-hal lain sepanjang perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Selain itu juga dapat dikategorikan ke dalam perbuatan korupsi adalah setiap pemberian yang dikaitkan dengan kedudukan atau jabatan tertentu. UU Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa seseorang dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila :
  1. Secara melawan hukum melakukan perbuatan atau memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
  2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
  3. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat sesuatu kekuasaan dan kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya. Termasuk dalam hal ini adalah siapa saja yang tanpa alas n yang wajar, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima suatu pemberian atau janji.
Bahkan untuk mencegah terjadinya korupsi, usaha-usaha percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut diatas, sudah dianggap sebagai perbuatan korupsi. Adapun dari segi tipologi, Alatas (1987) membagi korupsi kedalamtujuh jenis yang berlainan. Ketujuh jenis korupsi itu adalah sebagai berikut :
  1. Korupsi transaktif (transactive corruption), menunjuk kepada adanya kesepakatantimbal balik antara pemberi dan pihak penerima, demi keuntungan kedua belah pihak.
  2. Korupsi yang memeras (extortive corruption), menunjuk adanya pemaksaan kepada pihak pemberi untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancan dirinya, kepentingannya atau hal-hal yang dihargainya.
  3. Korupsi investif (investive corruption), adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh dimasa yang akan datang.
  4. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption) adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan istimewa secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
  5. Korupsi defensif (defensive corruption) adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan. Korupsinya dalam rangka mempertahankan diri.
  6. Korupsi otogenik (autogenic corruption) yaitu korupsi yang dilakukan oleh seseorang seorang diri.
  7. Korupsi dukungan (supportive corruption) adalah korupsi yang dilakukan untuk memperkuat korupsi yang sudah ada.
Dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 terdapat 30 rumusan bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terpisah dan terperinci mengenai perbuatan-perbuatan yang dikenakan pidana korupsi. Namun pada dasarnya 30 bentuk/jenis korupsi itu dapat dikelompokan menjadi: 
  1. Kerugian keuangan negara
  2. Suap menyuap
  3. Pengelapan dalam jabatan 
  4. Pemerasan 
  5. Perbuatan curang
  6. Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan 
  7. Gratifikasi 
Dalam buku Toward A General Theory Of Official Corruption karangan Gerald E Caiden bentuk umum korupsi yang dikenal antara lain: 
  1. Berkhianat, subversi, transaksi luar negeri ilegal, penyeludupan;
  2. Mengelapkan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri;
  3. Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, menyalahgunakan dana;
  4. Menyalahgunakan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi ampun dan grasi tidak pada tempatnya;
  5. Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi dan memperdaya, memeras;
  6. Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian palsu, menahan secara tidak sah, menjebak;
  7. Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain seperti benalu;
  8. Penyuapan dan penyogokan, memeras, mengutip pungutan, menerima komisi;
  9. Menjegal pemilihan umum, memalsukan surat suara, membagi-bagi wilayah pemilihan umum agar bisa unggul;
  10. Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi, membuat laporan palsu;
  11. Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang miliki pemerintah dan surat izin pemerintah;
  12. Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan pinjaman uang;
  13. Menghidari pajak, meraih laba berlebih-lebihan;
  14. Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan;
  15. Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya;
  16. Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap;
  17. Perkoncoan, menutupi kejahatan;
  18. Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi;
  19. Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan. 
  20. Pola Penindakan Korupsi
Meskipun sudah banyak yang tertangkap dan terjerat hukum, para koruptor sepertinya belum juga jera. Serangkaian kasus korupsi ini seakan mengingatkan kita akan merosotnya moral dan hilangnya sikap kepemimpinan dari pemimpin bangsa Indonesia. Besarnya pengeluaran saat kampanye Pilkada menuntut mereka mengembalikan biaya politik yang sudah di keluarkan. Dan korupsilah jalan yang menjadi pilihannya.
Merasuknya laten korupsi sangat merugikan dan dapat merusak setiap sendi kebersamaan bangsa. Kerugian besar sedang melanda Indonesia sebagai akibat dari korupsi. Apalagi kalau biaya antisipasi dan penanganan kasus korupsi ini juga dimasukkan. Realita yang harus di wujudkan adalah reformasi hukum berkaitan dengan sanksi terhadap pelaku korupsi. Sanksi ini harus diperberat agar memberi efek jera kepada pelakunya. Putusan hakim pun harus benar-benar menunjukkan kesadaran dalam diri hakim bahwa korupsi merupakan tindak kejahatan yang luar biasa merugikan negara dan rakyat. Selain itu, pembinaan sistem anti-korupsi serta transparansi APBN harus di perketat pembinaannya. Apalagi yang berkaitan dengan jumlah, alokasi anggaran sampai penggunaan anggaran APBN. Kalau hal ini bisa dilakukan, penyalahgunaan anggaran pasti bisa di tekan. Masyarakatpun bisa mengontrol penggunaan anggaran tersebut.
Terlebih lagi kalau koruptor ini mau bercermin dari kasus yang menjerat Angelina Sondakh yang membuatnya harus mendekam di penjara selama 12 tahun penjara dan mengembalikan uang suap yang diterimanya sebesar Rp12,58 miliar plus 2,350 juta dolar AS. Hal ini harusnya bisa membuat koruptor yang masih berkeliaran diluar sana enggan dan jera untuk melakukan tindakan korupsinya.
Hukum yang jauh lebih ekstrim ternyata memang harus pemerintah terapkan. Hukuman yang selama ini dijatuhkan kepada koruptor yang sudah terbukti korupsi belum benar-benar memberikan efek jera. Hukuman yang dijatuhkan kepada Angelina Sondakh sudah seharusnya diberlakukan pula kepada koruptor lain. Hal ini pula harus menjadi tolok ukur bagi hakim lain dalam memberikan putusan atas kasus korupsi yang di tanganninya.
Contoh Kasus: Kasus Korupsi Angelina Sondakh
  1. Kronologi Terseretnya Angelina Sondakh
Terseretnya Angelina Patricia Pingkan Sondakh atau Angelina Sondakh atau Angie dalam kasus korupsi Kasus Wisma Atlet SEA Games Palembang dan Kemendikbud berawal dari ‘nyanyian’ para tersangka ‘pendahulunya’ yang ditangkap terlebih dulu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tersangka awal itu adalah M. Nazarrudin, Muhammad El Idrus, Mindo Rosalinda Manulang, Wafid Muharam. Dan Angelina Sondakh diseret masuk oleh M. Nazarrudin dan Mindo Rosalinda Manulang.
Kecuali Angelina Sondakh semua tersangka telah divonis, masing-masing Rosa divonis 2,5 tahun dan denda Rp. 200 juta, Mohammad El Idris divonis dua tahun dan denda Rp. 200 juta, Wafid Muharam dihukum tiga tahun dan denda Rp. 150 juta, serta Muhammad Nazarudin, dijatuhi hukuman empat tahun 10 bulan penjara dan denda Rp. 200 juta.
Nazar dalam pengakuannya di persidangan mengungkapkan, bahwa Angie pernah mengaku menerima sejumlah uang di depan Tim Pencari Fakta yang dibentuk Partai Demokrat. Dalam rapat Tim Pencari Fakta yang dihadiri Benny K. Harman, Jafar Hafsah, Edi Sitanggang, Max Sopacua, Ruhut Sitompul, M. Nasir, janda mendiang Adjie Massaid itu menerima uang Rp. 9 miliar dari Kemenpora (dalam hal ini Wafid Muharam), sebanyak Rp. 8 miliar diserahkan ke Wakil Ketua Banggar DPR, Mirwan Amir. Namun hal itu dibantah oleh Angie.
Selain Nazarudin, Rosa juga menyebut Angelina telah menerima uang darinya terkait proyek pembangunan wisma Atlet SEA Games di Palembang. PT Anak Negeri mengeluarkan Rp. 10 miliar melalui Angie. Sebanyak Rp. 5 miliar untuk Angie, Rp. 5 miliar sisanya tidak diketahui, namun diduga digunakan sebagai ‘pelicin’ ke Badan Anggaran DPR agar anggaran segera turun.
Sementara mantan anak buah Nazaruddin yang merupakan Wakil Direktur Keuangan PT Permai Grup, Yulianis, juga membenarkan ucapan Rosa itu. Bahwa Angelina Sondakh dan Wayan Koster mendapat Rp. 5 miliar.
Pada Rabu, 15 September 2011, Angelina Sondakh mendatangi Kantor KPK untuk diperiksa selama delapan jam sebagai saksi dalam kasus pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang yang melibatkan tersangka Muhammad Nazaruddin.
Pada Jumat, 3 Februari 2012, Angelina Sondakh dicegah untuk tidak bepergian ke luar negeri hingga 3 Februari 2013. Pencekalan ini terkait penyebutan nama keduanya oleh para tersangka dan terdakwa kasus suap Kementrian Pemuda dan Olahraga. Bahkan rencana umroh Angie juga batal.
KPK juga menetapkan Angie sebagai tersangka, menjerat dengan Pasal 5, Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut berisi ancaman pidana 1 tahun, 2 tahun dan 5 tahun serta denda maksimalRp.250.000.000.
Setelah resmi menjadi tersangka, dia diberhentikan dari jabatan sebagai Wakil Sekjen Partai Demokrat (PD).
  1. Tindakan KPK terhadap Angelina Sondakh
Eksekusi putusan
Terkait dengan eksekusi terhadap putusan itu, Deputi Penindakan KPK Warih Sadono mengatakan akan segera melaksanakannya. ”Eksekusi segera dilakukan setelah jaksa menerima petikan putusan atau ekstrak vonis. Tahap pertama eksekusi pidana pokok tentang penjara. Untuk eksekusi amar putusan lain tentu harus dipelajari secara lengkap setelah mendapatkan salinan putusan,” ucap Warih.
Soal uang pengganti yang harus dibayarkan Angie, Warih mengatakan, akan diupayakan agar mantan Puteri Indonesia tersebut membayar uang pengganti dari hartanya yang sudah diblokir atau disita. Namun, dia belum tahu secara detail berapa jumlah harta Angie yang telah diblokir dan disita KPK. ”Jika tidak mampu atau tidak mencukupi, dilaksanakan pidana penjara subsidernya,” lanjutnya.
Progresif dan menjerakan
Secara terpisah, peneliti Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar, menyatakan, putusan majelis kasasi itu adalah putusan yang progresif dan mampu menjerakan koruptor. Putusan tersebut harus menjadi tolok ukur dan standar bagi hakim-hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa korupsi.
”Kalau bicara efek jera dalam pemberantasan korupsi, cara pandang hakim seharusnya seperti cara pandang hakim MA dalam putusan Angie ini. Efektifkan pidana tambahan. Sita uang hasil korupsi. Kalau tidak dilakukan, orang tidak takut korupsi karena hanya akan dikenai hukuman badan (penjara) saja, sementara uang hasil korupsinya aman. Setelah bebas, ia masih bisa menikmati hasil korupsi. Ini yang ada di benak koruptor saat ini,” ungkap Erwin.
Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jaksa KPK Kresno Anto Wibowo mengatakan Angelina dianggap bersalah telah menggiring anggaran proyek di Kemenpora dan Kemendiknas. Mahkamah Agung (MA) telah memperberat hukuman terpidana kasus korupsi Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Pemuda dan Olahraga, Angelina Sondakh, dari empat tahun enam bulan penjara menjadi 12 tahun penjara. Angelina juga diminta membayar uang pengganti sebesar Rp 12,58 miliar dan USD 2,35 juta. Apabila tidak sanggup membayar maka diganti dengan pidana penjara selama dua tahun.Menurut Juru Bicara KPK, Johan Budi, KPK berencana tetap akan mengajukan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengenai uang pengganti kerugian negara terhadap Puteri Indonesia 2001 itu dengan Pasal 18 UU Pemberantasan Korupsi.
“Kami sudah memutuskan untuk banding. Jadi ada dua hal, yang pertama soal tuntutan hukuman terutama Pasal 12 huruf a itu akan kita konstruksikan kembali dalam memori banding. Kedua, Pasal 18 juga akan kami konstruksikan kembali di tingkat banding,” kata Johan.
Johan menjelaskan, hal itu merupakan bagian dari upaya terobosan yang dilakukan KPK.Di mana tindak pidana korupsi berupa suap itu harus terdapat penyitaan dan perampasan aset yang dilakukan kepada terpidana.
“Ini upaya untuk mengembalikan uang ke negara sekaligus juga efek jera.Jadiorang tidak sembarangan korupsi karena bakal disita hartanya,” katanya.
Johan mengakui upaya Jaksa KPK menkontruksikan kembali mengenai uang pengganti kerugian negara dalam memori banding itu merupakan tantangan tersendiri.
Mengingat di pengadilan tingkat pertama, tuntutan itu tidak terbukti.”Jadi kami challenge dan uji di tingkat banding nanti. Apakah hakim nanti melihatnya berbeda ataukah sama nantinya,” ujarnya.
Johan menambahkan, KPK juga tak menutup kemungkinan menjerat Angelina Sondakh dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).Dia menilai, hal tersebut terbuka lebar tergantung dari vonis hakim nanti.
“Kemungkinan itu bisa saja tergantung dari vonis hakim nanti. Ini kan belum berkekuatan hukum tetap. Nanti akan sejauh mana putusan, pertimbangan-pertimbangan kemudian yang jadi acuan hakim itu apa ini nanti bisa digunakan oleh KPK apa bisa menggunakan TPPU atau tidak,” terangnya.
Karena tegas Johan, vonis terhadap Angelina nantinya menjadi pintu masuk KPK dalam mengembangkan kasus Wisma Atlet terkait pembahasan anggarannya
Angelina didakwa menerima uang itu dari grup Permai pada 2010 terkait pengurusan proyek di sejumlah universitas di Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan termasuk program pengadaan sarana dan prasarana di Kemenpora. Jaksa mengatakan hal-hal yang memberatkan Angelina adalah ia tidak mengakui perbuatannya dan tidak menyesal. Ia juga dinilai tidak mendukung program pemberantasan korupsi atau memberi teladan pada masyarakat.
Hal yang meringankan adalah ia dinilai berperilaku santun dalam persidangan, belum pernah dihukum dan memiliki anak balita. Tim kuasa hukum Angelina mengatakan klien mereka akan mengajukan nota pembelaan.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad menilai putusan hakim MA tersebut telah memberikan rasa keadilan dalam masyarakat.Putusan seperti itu diharapkan lanjut Abraham dapat memberikan efek jera terhadap koruptor yang kerap mendapatkan hukuman yang tidak setimpal.
Dia menyatakan putusan MA terhadap Angelina Sondakh sudah sangat tepat di tengah pusaran pemikiran hukum para penegak hukum yang masih jauh dari keadilan dan tidak mampu menangkap kekhawatiran masyarakat terkait upaya pemberantasan korupsi.
Abraham mengungkapkan putusan hakim MA terhadap Angelina Sondakh harus menjadi tolok ukur bagi hakim-hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap koruptor.
“Kita ingin setiap terdakwa kasus korupsi putusannya bisa memberikan efek jera sehingga orang berfikir seribu kali untuk melakukan korupsi .Kita mengapresiasi putusan dari Mahkamah Agung.Kita mengapresiasi telah memberikan keadilan di dalam masyarakat,” kata Abrahan Sahad.
Komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrahman Sahuri mengungkapkan bahwa putusan kasasi MA terhadap Angelina Sondakh (Angie), sebagai obat kekecewaan publik terhadap putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang sebelumnya hanya menjatuhkan pidana empat setengah tahun penjara.
“Putusan itu telah mengobati kekecewaan masyarakat pada saat putusan di pengadilan negeri yang menghukum empat tahun.Dan ini saya rasa putusan yang terberat yang dikeluarkan Mahkamah Agung terhadap koruptor pasca putusan terhadap Abdullah Puteh 10 tahun. Setelah itu putusan terhadap koruptor turun-turun empat tahun, dua tahun, tiga tahun seperti itu, nah ini barulah 12 tahun,” kata Taufiqurrahman Sahuri
Dalam putusan kasasi MA, Angelina dinilai aktif meminta dan menerima uang terkait proyek-proyek di Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga
  1. Dampak Korupsi
  2. Bagi perekonomian Indonesia
  3. Korupsi mengurangi pendapatan dari sektor publik dan meningkatkan pembelanjaan pemerintah untuk sektor publik. Korupsi juga memberikan kontribusi pada nilai defisit fiskal yang besar, meningkatkan income inequality, dikarenakan korupsi membedakan kesempatan individu dalam posisi tertentu untuk mendapatkan keuntungan dari aktivitas pemerintah pada biaya yang sesungguhnya ditanggung oleh masyarakat Ada indikasi yang kuat, bahwa meningkatnya perubahan pada distribusi pendapatan terutamadi negara-negara yang sebelumnya memakai sistem ekonomi terpusat disebabkan oleh korupsi, terutama pada proses privatisasi perusahaan negara.
  4. Korupsi mengurangi kemampuan pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam bentuk peraturan dan kontrol akibat kegagalan pasar (market failure). Ketika kebijakan dilakukan dalam pengaruh korupsi yang kuat maka pengenaan peraturan dan kebijakan, misalnya, pada perbankan, pendidikan, distribusi makanan dan sebagainya, malah akan mendorong terjadinya inefisiensi.
  5. Korupsi menjadi bagian dari welfare cost, memperbesar biaya produksi, dan selanjutnya memperbesar biaya yang harus dibayar oleh konsumen dan masyarakat (dalam kasus pajak), sehingga secara keseluruhan berakibat pada kesejahteraan masyarakat yang turun.
  6. Korupsi mereduksi peran fundamental pemerintah (misalnya pada penerapan dan pembuatan kontrak, proteksi, pemberian property rightsdan sebagainya). Pada akhirnya hal ini akan memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi yang dicapai.
  7. Korupsi mengurangi legitimasi dari peran pasar pada perekonomian, dan juga proses demokrasi. Kasus seperti ini sangat terlihat pada negara yang sedang mengalami masa transisi, baik dari tipe perekonomian yang sentralistik ke perekonomian yang lebih terbuka atau pemerintahan otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis, sebagaimana terjadi dalam kasus Indonesia.
  8. Korupsi memperbesar angka kemiskinan. Selain dikarenakan program-program pemerintah sebagaimana disebut di atas tidak mencapai sasaran, korupsi juga mengurangi potensi pendapatan yang mungkin diterima oleh si miskin. Menurut Tanzi (2002), perusahaan perusahaan kecil adalah pihak yang paling sering menjadi sasaran korupsi dalam bentuk pungutan tak resmi (pungutan liar). Bahkan, pungutan tak resmi ini bisa mencapai hampir dua puluh persen dari total biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan ini amat mengkhawatirkan, dikarenakan pada negara negara berkembang seperti Indonesia, perusahaan kecil (UKM adalah mesin pertumbuhan karena perannya yang banyak menyerap tenaga kerja).
  9. Dampak Korupsi Bagi Masyarakat
Korupsi sangat berdampak negatif pada kehidupan masyarakat sekitar. Adapun dampak korupsi yang terlihat secara langsung dan tidak langsung adalah sebagai berikut :
  1. Kenaikan harga-harga barang akibat anggaran APBN yang dikorupsi
  2. Bertambahnya rakyat miskin dikarenakan uang tunjangan bagi rakyat miskin yang seharusnya disalurkan dikorupsi.
  3. Mahalnya biaya yang harus rakyat keluarkan untuk mendapatkan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang seharusnya bersubsidi.
  4. Kesenjangan pendapatan semakin tinggi.
  5. Banyaknya rkyat yang di PHK akibat perusahaan kecil tempat mereka kerja gulung tikar akibat dana investasinya dikorupsi.
  6. Dan masih banyak lagi dampak negatif korupsi.
  7. Dampak Korupsi Dalam Bidang Pendidikan
Menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia disebabkan oleh adanya faktor- faktor yang menyebabkan. Kurangnya fasilitas yang tersedia menjadi faktor utama terhadap baik atau buruknya kualitas pendidikan di Indonesia. Bisa kita lihat banyak fasilitas yang sudah tidak layak dipakai masih digunakan sebagai sarana pendidikan, contohnya pada lingkungan pedesaan banyak fasilitas yang sudah tidak layak dipakai masih digunakan untuk sarana belajar mengajar sesuai fungsinya. Fasilitas yang rusak ini mengakibatkan banyak anak- anak pedesaan tidak bisa menggunakan fasilitas dengan baik. Fasilitas yang kurang dan rusak disebabkan karena kurangnya dana yang diberikan oleh pemerintah. Menurut pasal 31 ayat 4 dengan bunyi “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang- kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelengaraan pendidikan nasional”. 
Sesuai dengan apa yang termuat di dalam UUD 1945 sebanyak 20% keuangan negara itu digunakan sebagai dana pendidikan. Namun saat ini sesuai dengan apa yang telah kita ketahui kualitas pendidikan di indonesia begiu rendah, lalu dimana uang yang seharusnya dipakai sebagai dana pendidikan?. Korupsi itulah jawaban yang tepat. Meski Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil, dan pembagian tugas pemeritahan sudah terlihat sangat jelas. Korupsi tetap saja menjadi masalah yang sangat besar bagi keuangan negara. Hal inilah yang berdampak negatif terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Banyak pendidikan yang terkorbankan karena tidak adanya fasilitas dan dana yang cukup . 
Dampak negatif dari korupsi ini tentu sangatlah banyak salah satunya adalah uang negara yang seharusnya di pakai untuk memenuhi fasilitas pendidikan tapi menjadi bubur hangat bagi para koruptor di Indonesia dan hal ini juga yang telah menyebabkan negara indonesia tidak maju- maju dan tetap pada posisi sebagai negara berkembang dengan kualitas pendidikan yang rendah. Dari kasus korupsi yang terjadi perhatian pemerintah menjadi sangat berkurang terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Tidak heran jika kualitas penddidikan di indonesia menjadi rendah dan tidak dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman saat ini. Perlu adanya tindak lanjut yang lebih agar pendidikan di Indonesia bisa seperti negara yang maju saat ini, tidak cukup hanya dengan pemberian hukuman kepada koruptor tapi perlu adanya inovasi baru yang dapat memberikan hukuman yang sebanding dengan apa yang telah dilaksanakan oleh para koruptor. Berantas korupsi dan segala tindakan menyimpang lainnya yang akan berdampak negative pada kualitas pendidikan di indonesia. 
Seperti yang kita lihat, Indonesia menyandang sebagai negara yang memiliki begitu banyak sumber daya yang tentunya dapat di manfaatkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Jika pemanfaatan dan penggunaannya dilakukan secara efesien serta terhindar dari tangan- tanagn yang tak bertanggung jawab maka akan tercipta indonesia yang maju. Kita sebagai genrasi penerus bangsa dan negara, perlu pemahaman yang luas akan dunia pendidikan agar kualitas pendidikan di indonesia bisa berkembang dan maju seperti halnya sama dengan tujuan dan cita- cita bangsa kita. Indonesia yang aman, maju dan sejahtera adalah harapan utama kita semua sebagai rakyat republik Indonesia. Tingkatkan terus kualitas penndidikan di Indonesia agar indonesia dapat kembali lagi menjadi indonesia yang memiliki kualitas pendidikan yang tinggi.


BAB IV
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain serta selalu mengandung unsur “penyelewengan” atau dishonest (ketidakjujuran). Dan korupsi akan berdampak pada masarakat luas serta akan merugikan masyarakat umum dan negara.di indonesiakorupsi identik dengan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan sistem administrasi negara dengan birokrasi sebagai prangkat pokoknya.
Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya delik-delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia masih begitu rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan hukum menurut kepentingannya. Dalam realita di lapangan, banyak kasus untuk menangani tindak pidana korupsi yang sudah diperkarakan bahkan terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari hukuman ataupun mendapat hukuman yang tidak sesuai dengan pelanggaranya contoh saja Angelina Sondakh seperti yang sudah dijelaskan diatas . Itulah sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak drastis, upaya pemberantasan korupsi dapat dipastikan gagal.

Sumber :  https://aafadill702.wordpress.com/2014/06/25/masalah-korupsi/