38) Organisasi Intra dan Ekstra Kampus

38) Organisasi Intra dan Ekstra Kampus

Berpoligami dengan Organisasi Intra dan Ekstra Kampus


Judul tulisan ini bukan bermaksud untuk mengkampanyekan praktek poligami yang dilakukan oleh beberapa orang yang bahkan tidak segan-segan untuk membuat satu komunitas sendiri beranggotakan para pasangan poligami. Tulisan ini bermaksud mengupas persoalan yang saat ini muncul di kalangan mahasiswa Fakultas Hukum UNS, terkait dengan isu dikotomi antara organisasi intra dan ekstra kampus.
Di beberapa kampus, dikotomi organisasi intra dan ekstra kampus tidak jarang memunculkan gesekan-gesekan yang berujung pada baku hantam antara kedua pihak. Baik organisasi intra maupun ekstra kampus, sama-sama mendiskreditkan pihak yang tidak menjadi bagian dari mereka.
Tidak ada salahnya memang jika kita mendikotomikan antara organisasi intra dan ekstra kampus karena pada realitanya kedua tipe organisasi tersebut memang berbeda, walaupun dalam beberapa hal terdapat kesamaan. Karena yang patut dipersalahkan sebetulnya ialah penyikapan atas perbedaan yang ada.
Perbedaan diantara keduanya terletak pada keterikatan dengan pihak kampus. Berbeda organisasi intra kampus yang begitu terikat dengan birokrat kampus, organisasi ekstra kampus berdiri independen tanpa terikat dengan birokrat kampus.
Biasanya, organisasi intra kampus, karena merasa bahwa kampus merupakan ”rumah” mereka, maka sebisa mungkin peluang bagi organisasi ekstra kampus untuk ikut mewarnai dinamika kampus ditutup serapat-rapatnya. Tidak jarang usaha-usaha untuk mendiskreditkan organisasi ekstra kampus pun dilancarkan oleh para empunya kampus tersebut.
Merasa ruang geraknya dibatasi, organisasi ekstra kampus pun tidak kehilangan akal. Berbagai macam celah pun berusaha mereka temukan agar dapat ikut mewarnai dinamika kampus yang sedang berkembang. Kreativitas mereka dalam bergerak semakin diuji ketika muncul SK DIRJEN DIKTI Nomor 26/DIKTI/Kep/2002 tentang pelarangan organisasi ekstra kampus atau partai politik dalam kehidupan kampus. SK tersebut berisi bahwa melarang segala bentuk Organisasi Ekstra Kampus dan Partai Politik membuka sekretariat (perwakilan) dan atau melakukan aktivitas politik praktis di dalam kampus.
Dengan bersenjatakan SK DIRJEN DIKTI ini, beberapa organisasi intra kampus coba menghalau pergerakan organisasi ekstra kampus di dalam ”rumah” mereka. Mereka menafsirkan bahwa organisasi ekstra kampus dilarang beraktivitas apapun di dalam kampus. Padahal jika kita jeli, yang dilarang dari SK DIRJEN DIKTI tersebut hanya melarang pendirian sekretariat dan aktivitas politik praktis.
Kepentingan Politik
Ada beberapa kalangan intra kampus yang menolak infiltrasi organisasi ekstra ke dalam kampus mereka karena alasan bahwa organisasi ekstra kampus memiliki kepentingan politik. Pertanyaan yang muncul ialah apakah gerakan mahasiswa, baik intra maupun ekstra kampus, bebas dari kepentingan politik?
Saya pikir, baik intra maupun ekstra kampus, tidak terbebas dari kepentingan politik. Karena pada dasarnya, menurut Aristoteles, manusia adalah Zoon Politicon, yaitu makhluk yang berpolitik. Hanya saja, gerakan politik yang diusung oleh gerakan mahasiswa bukanlah gerakan politik kekuasaan (Power Political Movement) yang merupakan fungsi dasar partai politik dimana penetapan agenda dan target politik maupun pemilahan lawan dan kawan politik semata-mata sebagai urusan taktis dan strategis untuk memperkuat dan mengukuhkan posisi politiknya dalam percaturan kekuasaan sekarang dan di masa depan. Gerakan politik mahasiswa lebih pada gerakan politik nilai (Values Political Movement). Mahasiswa dituntut untuk memperjuangkan nilai-nilai (Values) atau sistem nilai (Values System) yang sifatnya universal seperti keadilan sosial, kebebasan, kemanusiaan, demokrasi, kepedulian kepada rakyat tertindas.
Sinergisitas Gerakan
Berangkat dari tuntutan tersebut, maka sudah seharusnya gerakan mahasiswa menghindarkan diri dari jebakan dan manipulasi kepentingan elite maupun partai politik tertentu. Jika gerakan mahasiswa sudah terjebak pada agenda politik kalangan elite tertentu, maka kepada siapa lagi rakyat akan berharap jika para pengusung politik nilai saja sudah menggadaikan idealismenya?
Selain itu, dikotomi yang ada antara organisasi intra dan ekstra kampus, biarlah itu menjadi kondisi obyektif dari gerakan mahasiswa. Jangan sampai dikotomi diantara keduanya dijadikan alasan untuk saling menganggap musuh antara gerakan mahasiswa. Karena yang terjadi saat ini mengarah pada hal tersebut.
Gerakan mahasiswa sekarang berbeda dengan gerakan mahasiswa pada zaman-zaman perjuangan melawan tirani rezim Orba. Mahasiswa, baik yang berasal dari intra maupun ekstra kampus, saling bersinergis melakukan sebuah gerakan bersama untuk melawan setiap tindakan represif yang dilakukan oleh rezim saat itu. Hingga pada puncaknya, gerakan mahasiswa dapat memetik buah manis dari perjuangan yang mereka lakukan dengan ditandai turunnya Soeharto.
Mahasiswa yang mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan di bangku kuliah, dituntut tidak hanya melulu memikirkan hal-hal yang bersifat akademis saja, tetapi juga diharapkan mampu menjadi tempat harapan bagi rakyat tertindas. Untuk itu, perlu kita rapatkan barisan gerakan mahasiswa ini. Jangan posisikan diri kita menjadi tersekat-sekat dalam ruang sempit yang sebetulnya itu hanya akan membinasakan kita sendiri. Baik organisasi intra maupun ekstra kampus sama-sama memiliki peran penting dalam gerakan mahasiswa. Mengapa kita tidak ”mengawini” atau menerima keduanya? Kecuali jika kita sebagai mahasiswa justru ingin memperlemah gerakan mahasiswa yang membawa nilai-nilai universal ini, maka wajar jika kita masih saja memposisikan organisasi intra versus organisasi ekstra kampus.