Judul tulisan ini bukan bermaksud untuk mengkampanyekan praktek poligami
yang dilakukan oleh beberapa orang yang bahkan tidak segan-segan untuk
membuat satu komunitas sendiri beranggotakan para pasangan poligami.
Tulisan ini bermaksud mengupas persoalan yang saat ini muncul di
kalangan mahasiswa Fakultas Hukum UNS, terkait dengan isu dikotomi
antara organisasi intra dan ekstra kampus.
Di beberapa kampus, dikotomi organisasi intra dan ekstra kampus tidak
jarang memunculkan gesekan-gesekan yang berujung pada baku hantam antara
kedua pihak. Baik organisasi intra maupun ekstra kampus, sama-sama
mendiskreditkan pihak yang tidak menjadi bagian dari mereka.
Tidak ada salahnya memang jika kita mendikotomikan antara organisasi
intra dan ekstra kampus karena pada realitanya kedua tipe organisasi
tersebut memang berbeda, walaupun dalam beberapa hal terdapat kesamaan.
Karena yang patut dipersalahkan sebetulnya ialah penyikapan atas
perbedaan yang ada.
Perbedaan diantara keduanya terletak pada keterikatan dengan pihak
kampus. Berbeda organisasi intra kampus yang begitu terikat dengan
birokrat kampus, organisasi ekstra kampus berdiri independen tanpa
terikat dengan birokrat kampus.
Biasanya, organisasi intra kampus, karena merasa bahwa kampus merupakan
”rumah” mereka, maka sebisa mungkin peluang bagi organisasi ekstra
kampus untuk ikut mewarnai dinamika kampus ditutup serapat-rapatnya.
Tidak jarang usaha-usaha untuk mendiskreditkan organisasi ekstra kampus
pun dilancarkan oleh para empunya kampus tersebut.
Merasa ruang geraknya dibatasi, organisasi ekstra kampus pun tidak
kehilangan akal. Berbagai macam celah pun berusaha mereka temukan agar
dapat ikut mewarnai dinamika kampus yang sedang berkembang. Kreativitas
mereka dalam bergerak semakin diuji ketika muncul SK DIRJEN DIKTI Nomor
26/DIKTI/Kep/2002 tentang pelarangan organisasi ekstra kampus atau
partai politik dalam kehidupan kampus. SK tersebut berisi bahwa melarang
segala bentuk Organisasi Ekstra Kampus dan Partai Politik membuka
sekretariat (perwakilan) dan atau melakukan aktivitas politik praktis di
dalam kampus.
Dengan bersenjatakan SK DIRJEN DIKTI ini, beberapa organisasi intra
kampus coba menghalau pergerakan organisasi ekstra kampus di dalam
”rumah” mereka. Mereka menafsirkan bahwa organisasi ekstra kampus
dilarang beraktivitas apapun di dalam kampus. Padahal jika kita jeli,
yang dilarang dari SK DIRJEN DIKTI tersebut hanya melarang pendirian
sekretariat dan aktivitas politik praktis.
Kepentingan Politik
Ada beberapa kalangan intra kampus yang menolak infiltrasi organisasi
ekstra ke dalam kampus mereka karena alasan bahwa organisasi ekstra
kampus memiliki kepentingan politik. Pertanyaan yang muncul ialah apakah
gerakan mahasiswa, baik intra maupun ekstra kampus, bebas dari
kepentingan politik?
Saya pikir, baik intra maupun ekstra kampus, tidak terbebas dari
kepentingan politik. Karena pada dasarnya, menurut Aristoteles, manusia
adalah Zoon Politicon, yaitu makhluk yang berpolitik. Hanya saja,
gerakan politik yang diusung oleh gerakan mahasiswa bukanlah gerakan
politik kekuasaan (Power Political Movement) yang merupakan fungsi dasar
partai politik dimana penetapan agenda dan target politik maupun
pemilahan lawan dan kawan politik semata-mata sebagai urusan taktis dan
strategis untuk memperkuat dan mengukuhkan posisi politiknya dalam
percaturan kekuasaan sekarang dan di masa depan. Gerakan politik
mahasiswa lebih pada gerakan politik nilai (Values Political Movement).
Mahasiswa dituntut untuk memperjuangkan nilai-nilai (Values) atau sistem
nilai (Values System) yang sifatnya universal seperti keadilan sosial,
kebebasan, kemanusiaan, demokrasi, kepedulian kepada rakyat tertindas.
Sinergisitas Gerakan
Berangkat dari
tuntutan tersebut, maka sudah seharusnya gerakan mahasiswa menghindarkan
diri dari jebakan dan manipulasi kepentingan elite maupun partai
politik tertentu. Jika gerakan mahasiswa sudah terjebak pada agenda
politik kalangan elite tertentu, maka kepada siapa lagi rakyat akan
berharap jika para pengusung politik nilai saja sudah menggadaikan
idealismenya?
Selain itu, dikotomi yang ada antara organisasi intra dan ekstra kampus,
biarlah itu menjadi kondisi obyektif dari gerakan mahasiswa. Jangan
sampai dikotomi diantara keduanya dijadikan alasan untuk saling
menganggap musuh antara gerakan mahasiswa. Karena yang terjadi saat ini
mengarah pada hal tersebut.
Gerakan mahasiswa sekarang berbeda dengan gerakan mahasiswa pada
zaman-zaman perjuangan melawan tirani rezim Orba. Mahasiswa, baik yang
berasal dari intra maupun ekstra kampus, saling bersinergis melakukan
sebuah gerakan bersama untuk melawan setiap tindakan represif yang
dilakukan oleh rezim saat itu. Hingga pada puncaknya, gerakan mahasiswa
dapat memetik buah manis dari perjuangan yang mereka lakukan dengan
ditandai turunnya Soeharto.
Mahasiswa yang mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan di bangku
kuliah, dituntut tidak hanya melulu memikirkan hal-hal yang bersifat
akademis saja, tetapi juga diharapkan mampu menjadi tempat harapan bagi
rakyat tertindas. Untuk itu, perlu kita rapatkan barisan gerakan
mahasiswa ini. Jangan posisikan diri kita menjadi tersekat-sekat dalam
ruang sempit yang sebetulnya itu hanya akan membinasakan kita sendiri.
Baik organisasi intra maupun ekstra kampus sama-sama memiliki peran
penting dalam gerakan mahasiswa. Mengapa kita tidak ”mengawini” atau
menerima keduanya? Kecuali jika kita sebagai mahasiswa justru ingin
memperlemah gerakan mahasiswa yang membawa nilai-nilai universal ini,
maka wajar jika kita masih saja memposisikan organisasi intra versus
organisasi ekstra kampus.
Komentar
Posting Komentar