Peradi
dan KAI ribut di Mahkamah Agung! Di ruangan Pejabat Sementara Ketua
MA!!! Para advokat senior ini saling meributkan organisasi siapa yang
sebenarnya di akui oleh Undang-Undang. Lucu
memang, agak jarang juga mendengar orang-orang tua ribut. Mungkin
sebaiknya kita sarankan agar mereka sering-sering lah ribut,
pukul-pukulan lah sekalian kalo bisa. Atau sekalian jambak-jambakan?
(sayangnya sebagian advokat sudah botak).
“Apakah
mereka tidak bisa duduk bersama menyelesaikan masalahnya dengan kepala
dingin?” …preettt! Akar masalah konflik ini bukan sekedar birahi politik
dari para advokat, ya itu mungkin salah satunya, tapi menurut saya
masalah intinya terletak pada UU Advokat itu sendiri.
UU
menyatakan Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi
advokat (pasal 28 ayat 1). Apa artinya rumusan ini? Apakah maksudnya
Organisasi Advokat hanya ada satu, atau jika advokat ingin membentuk
organisasi profesi harus berbentuk Organisasi Advokat seperti yang
diatur dalam UU ini? Jika tafsirannya yang pertama yang manakah yang
satu itu? Undang-undang
sama sekali tidak menjelaskan. Hanya dalam pasal 32 ayat 4 disebutkan
dalam waktu paling lambat 2 tahun setelah berlakunya UU ini Organisasi
Advokat sudah terbentuk. Sudah terbentuk? Siapa yang membentuknya?
Tuhan? Tak ada sama sekali clue dalam UU ini.
Lalu
kalau bukan Tuhan, lalu siapa? Advokat kah? Logikanya ya. Tapi Advokat
yang mana yang diberikan kewenangan untuk membentuk Organisasi Advokat
yang dimaksud pasal 28 (1) tersebut? Apa syarat-syarat pembentukannya?
Di mana harus didaftarkan? Apa wewenang Organisasi ini? Apa hak dan
kewajibannya? Bagaimana jika Organisasi ini melenceng dari tujuannya?
Jika advokat melanggar Kode Etik maka Advokat dapat dijatuhkan sanksi
oleh Organisasi tersebut. Tapi, bagaimana jika Organisasi Advokat itu
sendiri yang melindungi Advokat yang melanggar Kode Etik yang dibuatnya
sendiri? Apa bisa dibubarkan? No Clue!
Pertanyaan
lalu berkembang, kalau saya seorang advokat dan ingin membentuk
organisasi advokat yang baru karena aspirasi saya sebagai advokat tidak
tersalurkan dalam organisasi yang ada apakah bisa? Jika tidak mengapa?
Bukankah dalam konstitusi pasal 28E ayat 3 dinyatakan setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat?
Namun jika jawabannya adalah boleh, pertanyaan selanjutnya adalah apa
persyaratannya? Di mana organisasi saya harus didaftarkan? Apa hak dan
kewajibannya? Apa kewenangannya? Apakah bisa dibubarkan? Apa syarat
pembubarannya? Puih…dari 36 pasal yang ada ternyata sama sekali tak ada
pasal yang bisa menjawabnya. Ini undang-undang atau undangan ya?
Sedikit
clue dalam UU ini mengenai Organisasi Advokat ada dalam pasal 28 (2),
susunan organisasi ditetapkan oleh advokat dalam AD/ART. Tapi apa-apa
saja yang harus diatur dalam AD/ART tersebut selain susunan
organisasinya? Apakah AD/ART ini dapat dibatalkan oleh negara jika
ternyata mengandung unsur-unsur diskriminatif? Misalnya hanya advokat
bersuku terntu saja atau advokat jenis tertentu (advokat pasar modal,
syariah, HAKI dll) saja yang bisa duduk menjadi pengurusnya. Tak ada
pengaturannya sama sekali!
UU
Advokat telah memberikan cek kosong kepada…ternyata kepada siapanya
juga masih kosong. Peradi menafsirkan bahwa Cek Kosong tersebut
ditujukan padanya. KAI menafsirkan lain. Besok lusa mungkin muncul
organisasi lainnya, GAI misalnya, Gerombolan Advokat Indonesia, atau
yang lainnya. Siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari masalah ini?
Yang diuntungkan tentunya organisasi yang memiliki afiliasi politik yang
kuat, baik ke Pemerintah, DPR maupun MA/MK. Ya, dengan pengaturan UU
seperti ini justru membuka ruang intervensi kekuasaan jauh lebih besar
dibanding kondisi sebelumnya.
Siapa
yang paling dirugikan? Kita (atau kami), warga negara biasa non
advokat. Mengapa? Dengan cek kosong tersebut maka segala urusan antara
warga negara dengan advokat diserahkan sepenuhnya kepada Organisasi
Advokat. Perlindungan hukum bagi Warga Negara atas kesewenangan-wenangan
Advokat seakan diserahkan sepenuhnya kepada Organisasi Advokat. Namun
jika Organisasi yang diberikan kewenangan tersebut tidak menjalankan
fungsinya dengan baik, atau menjalankan kewenangannya secara
sewenang-wenang tentunya kita sebagai warga negara yang akan dirugikan.
Di satu sisi Negara memang wajib melindungi hak warga negara untuk
berserikat dan berkumpul, namun di sisi lain warga negara juga berhak
untuk mendapatkan perlindungan dari negara atas potensi
kesewenang-wenangan suatu serikat, perkumpulan atau organisasi. Pada
titik inilah seharusnya negara memiliki peran, peran untuk memastikan
bahwa organisasi semacam ini menjalankan fungsinya sesuai dengan
tujuannya, serta memastikan bahwa hak-hak warga negara dalam hal ini
klien tidak dirugikan.
—
Apakah
organisasi advokat harus dalam bentuk wadah tunggal atau majemuk?
Kira-kira selalu ini pertanyaannya. Apa untung ruginya pengaturan dalam
bentuk wadah tunggal atau majemuk. Ini juga pertanyaan selanjutnya. ..dst. Tak bisa kah kita keluar dari pertanyaan seperti ini?
Mengapa kita tidak mulai pembahasan dari prinsip-prinsip pengaturan organisasi advokatnya dulu?
Prinsip pertama yang
saya usulkan yaitu setiap orang yang menjalankan fungsi advokat atau
yang dapat bertindak sebagai advokat harus tergabung dalam satu
organisasi advokat yang diakui keabsahannya oleh negara. Apa fungsi dan
tindakan yang merupakan tindakan advokat kita bisa bahas selanjutnya.
Sebaliknya, hanya organisasi advokat yang telah diakui keabsahannya yang
dapat mengeluarkan licence untuk menjadi advokat.
Mengapa
prinsip ini penting? Profesi advokat sebagaimana profesi lainnya
merupakan profesi yang memerlukan pengetahuan dan keahlian khusus. Tidak
semua orang dapat melakukan apa yang dilakukan oleh advokat, sehingga
unsur kepercayaan (trust) sangat penting dalam profesi ini. Klien harus
dapat mempercayai bahwa advokat yang mendampinginya benar-benar mewakili
kepentingan hukumnya, bukan kepentingan hukum dari pihak lawan atau
lainnya. Posisi klien dengan demikian sangat rentan dihadapan advokatnya
(sebagaimana halnya posisi pasien dengan dokternya); tidak mudah bagi
klien untuk mengetahui apakah advokatnya melakukan tugasnya dengan baik
atau tidak. Oleh karenanya maka profesi ini harus diatur untuk
melindungi kepentingan warga negara (baca: klien).
Namun
disisi lain, karena kekhususan masalah ini pula lah maka negara tidak
dapat mengatur advokat secara langsung. Negara tidak dapat langsung
menghukum atau menyatakan tidak bersalah sang advokat ketika dianggap
merugikan kepentingan warga negara. Yang dapat mengetahui apakah advokat
telah melaksanakan tugasnya dengan baik atau tidak pada akhirnya adalah
profesi advokat itu sendiri. Untuk itu maka diperlukan keberadaan
Organisasi Advokat, untuk menjembatani masalah ini.
Prinsip kedua. Setiap advokat dapat membentuk organisasi advokat.
Mengapa
setiap advokat harus dapat membentuk organisasi advokat? Karena pada
dasarnya advokat adalah warga negara juga yang memiliki hak untuk
berserikat dan berkumpul. Negara
tidak boleh melarang warga negara untuk berorganisasi, kewenangan
negara sebatas mengaturnya saja. Larangan tersebut hanya dimungkinkan
hak tersebut dipergunakan untuk merugikan hak asasi orang lain.
Prinsip ketiga.
Harus ada pengaturan secara jelas persyaratan untuk membentuk
organisasi advokat. Persyaratan tersebut harus mengatur juga
syarat-syarat minimum yang harus dipenuhi, misalnya, minimum jumlah
anggota pertama kali, memiliki kode etik, dewan etik, mekanisme
pengaduan, mekanisme penyelesain dugaan pelanggaran etik, kejelasan
sumber pendanaan dll. Detilnya kita bisa bahas selanjutnya.
Prinsip keempat.
Setiap organisasi advokat harus didaftarkan pada instansi negara untuk
diakui keabsahannya, apakah Depkum atau yang lainnya bisa kita bahas
berikutnya.
Prinsip kelima.
Organisasi advokat hanya dapat mengeluarkan izin / licence di kota /
kabupaten dimana telah terdapat dewan etik daerah, sebaliknya licence
tersebut juga hanya berlaku di wilayah2 yang telah terdapat dewan etik
tersebut. Tujuannya adalah untuk memudahkan pengguna jasa (klien)
apabila terjadi malpraktek atau pelanggaran kode etik yang merugikan
kliennya untuk mengadukan / komplain kepada organisasinya. Sangatlah
tidak masuk akal jika seorang klien yang berlokasi di papua misalnya
dirugikan oleh pengacaranya dan ia harus mengadukan pengacaranya
tersebut ke Jakarta!
Prinsip keenam.
Organisas Advokat harus memiliki program-program peningkatan kapasitas
anggotanya, dalam bentuk training, PKPA atau lainnya, terserah.
Informasi atas program-program tersebut harus dapat diakses publik.
Tujuan
prinsip ini adalah untuk memastikan bahwa anggota dari organisasi
tersebut berkualitas, yang pada akhirnya dapat melayani kepentingan
warga negara (klien) secara optimal.
Prinsip ketujuh. Organisasi Advokat harus memiliki sumber pendanaan yang jelas. Sumber
pendanaan utama Organisasi Advokat harus berasal dari iuran anggota.
Anggota yang tidak melaksanakan kewajiban iuran tersebut harus diberikan
peringatan hingga dapat dapat dikeluarkan dari keanggotaan.
Tujuan
dari prinsip ini adalah bahwa organisasi tetap berbasiskan anggota,
serta untuk menghindari dominasi sebagian kelompok atau adanya
intervensi dari non anggota. Dominasi maupun intervensi terhadap
organisasi ini akan merusak organisasi, yang pada akhirnya akan dapat
berdampak juga bagi masyarakat secara luas (klien).
Prinsip kedelapan.
Seluruh informasi yang berkaitan dengan organisasi advokat harus dapat
diakses publik. UU harus mengatur informasi-informasi minimum yang harus
diumumkan oleh Organisasi Advokat.
Tujuan prinsip ini…apa masih perlu dijelaskan?
Prinsip kesembilan. Pengawasan advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.Peran
Negara adalah melakukan pengawasan terhadap Organisasi Advokat, bukan
advokatnya. Peran pengawasan dari Negara harus terbatas pada tujuan
untuk menjamin organisasi advokat memenuhi persyaratan minimum yang
harus dipenuhi, kewajiban-kewajiban organisasi. Misalnya
untuk memastikan prinsip keempat s/d kedelapan tetap dipenuhi oleh
organisasi advokat. Harus ditetapkan dengan jelas instansi mana yang
diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan tersebut. Instansi ini haruslah instansi pemerintah, bukan badan peradilan.
Prinsip kesepuluh.
Organisasi Advokat harus bisa dibubarkan. Syarat pembubaran harus jelas
dan limitatif. Pembubaran hanya dapat dilakukan dengan dua cara,
voluntary (karena kehendak organisasi itu sendiri) atau jika
terus-menerus melakukan pelanggaran. Setiap tindakan pembubaran harus
dapat di bawa ke pengadilan, atau bisa juga diatur Pemerintah dalam hal
ini instansi pengawas memiliki kewenangan untuk mengusulkan pembubaran
melalui lembaga yudikatif.
Sejauh
ini sepuluh hal ini yang perlu diatur dalam UU yang mengatur mengenai
advokat (jumlah sepuluh hanyalah kebetulan belaka). Mungkin masih ada
materi lainnya yang dapat diatur, kita bisa diskusikan.
—
Apa
artinya pengaturan seperti diatas? Apakah berarti hanya ada satu atau
lebih organisasi advokat? Jawabannya bisa keduanya. Dengan pengaturan
seperti ini maka hanya waktu yang akan menjawabnya apakah hanya akan ada
satu atau lebih organisasi advokat. Organisasi advokat yang akan
bertahan pada akhirnya adalah organisasi advokat yang sehat, di satu
sisi yang melindungi dan mendorong para advokatnya untuk profesional, di
sisi lain yang juga melindungi malpraktek atau pelanggaran kode etik
yang merugikan kepentingan publik (klien). Ada sepuluh atau seratus
organisasi advokat pun pada akhirnya tidak akan menjadi masalah, jika
dua kepentingan tersebut dapat terpenuhi.
Apa
sebenarnya dasar pemikiran di balik ide ini? Saat ini saya belum bisa
menuliskannya, masih ada di kepala dan belum bisa dituangkan dengan baik
dalam bentuk tulisan. Intinya adalah pengaturan hubungan hukum antara
warga negara dan negara. Paradigma
dari UU Advokat yang ada menurut saya salah konsep, karena hubungan
hukum yang diatur adalah hubungan hukum antara Negara dan Advokat.
Paradigma ini akhirnya mengabaikan hak-hak dari warga negara itu
sendiri.
Komentar
Posting Komentar