Latar Belakang
Konflik
yang berlangsung di Aceh telah menimbulkan dampak yang parah terhadap
berbagai komponen masyarakat sipil Aceh. Ribuan orang yang dicintai
(orang tua, istri, suami dan anak-anak) telah gugur, mengalami
penyiksaan dan cacat, menjadi janda dan anak yatim. Ribuan orang telah
kehilangan tempat tinggal dan ribuan lainnya kehilangan pekerjaan dan
mata pencaharian. Ratusan sekolah terbakar, sehingga mengganggu proses
pendidikan. Lebih jauh dari itu, masyarakat sipil hampir tidak memiliki
akses terhadap hukum, sementara sebagian besar lembaga pengadilan tidak
berfungsi lagi.
Kenyataan
di atas telah menyadarkan berbagai pihak tentang perlunya menampung
aspirasi masyarakat sipil dalam proses perdamaian di Aceh. Sejumlah
usaha untuk menyerap aspirasi masyarakat sipil telah dilakukan.
Berturut-turut diantaranya adalah MRA (Musyawarah Rakyat Aceh), KRA
(Kongres Rakyat Aceh), KOMPAS (Kongres Mahasiswa dan pemuda Aceh
Serantau), tetapi hasil yang dicapai sampai saat ini belum maksimal.
Oleh karena itu kedepan perlu ada usaha yang besar dalam mewujudkan
perdamaian di Aceh.
Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) di ploklamirkan oleh Hasan Tiro pada 4 Desember
1976. Gerakan Aceh Merdeka ini muncul akibat ketidakpuasan Aceh terhadap
pemerintah pusat yang di anggap tidak adil di setiap sektor kehidupan
di Aceh , terutama ekonomi. Hasil alam Aceh dieksploitasi secara
besar-besaran namun Aceh tidak mengalami pembangunan yang setara dengan
hasil alamnya yang melimpah.
Berlandaskan kenyataan itu, 54 orang yang berasal dari komponen yang berbeda dalam masyarakat sipil Aceh menghadiri “Brotherly Dialog among Acehnese for a Just Peace in Aceh” di Washington DC, 5 s.d. 8 Oktober 2001 membentuk ACSTF (Acehnese Civil Society Task Force). Konferensi ini diadakan oleh International Forum For Aceh (IFA) dan Global peace Centre of American University.
Selain
komponen masyarakat sipil, dalam konferensi ini juga hadir perwakilan
dari pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Ir.Azwar Abubakar
dan perwakilan dari Gerakan Aceh Merdeka yang diwakili oleh Dr.Zaini
Abdullah. Konferensi ini memiliki beberapa rekomendasi, salah satunya
adalah terpilihnya sepuluh orang yang akan menjadi anggota ACSTF dalam
melaksanakan point-point penting yang berhubungan dengan konsolidasi dan
pemberdayaan komponen sipil Aceh. Selain itu, usaha ACSTF juga
mengambil inisiatif-inisiatif untuk mendorong terwujudnya solusi damai
berkesinambungan terhadap konflik Aceh lewat pendekatan dialog dan tanpa
kekerasan dengan pelibatan masyarakat sipil Aceh, Indonesia dan
internasional.
Pasca
MoU Damai 15 Agustus 2005 di Helsinki antara pemerintah Republik
Indonesia dengan GAM, ACSTF kembali membangun komunikasi dan konsolidasi
komponen masyarakat sipil Aceh untuk menjaga proses damai ini. Hal
penting yang harus segera direspon saat itu adalah pembentukan UU
Pemerintahan Aceh sesuai amanat MoU Helsinki. Sehingga ACSTF
menginisiasi proses perumusan UU PA versi masyarakat sipil serta
pengawalan pembentukan UU tersebut dari proses perumusan rancangan UU
sampai pembahasannya di DPR RI .
Permasalahan
Pada
awalnya GAM (Gerakan Aceh Merdeka) adalah sebuah organisasi politik
yang di proklamasikan oleh Hasan Tiro secara terbatas dan beroperasi
secara diam-diam. Lahirnya GAM berkaitan pula dengan kemarahan mereka
atas pemerintah di bawah orang-orang Jawa. Munculnya organisasi ini di
tanggapi oleh Orde Baru dengan cara yang represif melalui keterlibatan
militer didalamnya.
Kemudian
pada saat Indonesia mengalami krisis ekonomi dan politik hingga
jatuhnya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998. Untuk mengatasi
persoalan separatisme yang semakin memanas pada masa pemerintahan BJ
Habibie dan tuntutan masyarakat Aceh untuk mencabut DOM di Aceh semakin gencar, Pada tahun 1998 Daerah Operasi Militer di Aceh resmi di cabut.
Pada
masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati penyelesaian Aceh juga
tidak jauh dari pola-pola lama, Pada masa Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla konflik dengan GAM mulai menemukan titik
temunya, Pertemuan demi pertemuan yang di fasilitasi oleh Crisis Management Initiative
Landasan Teori
Organisasi
secara garis besar kita tahu bahwa dia adalah perkumpulan yang terdiri
dari dua orang atau lebih, dimana di dalamnya terdapat kerjasama untuk
mencapai dan mewujudkan tujuan bersama yang telah
disepakati. Setelah adanya otonomi daerah pasca refomasi, hal ini
membuat berbagai macam organisasi baik organisasi politik, perintah
maupun non pemerintah berkembang di tingkal lokal. Hal ini sehubungan
dengan banyak tuntutan dari masyarakat tentang lokalitasnya. Partai
politik adalah salah satu yang berkembang ketika otonomi daerah mulai
diberlakukan.
Beberapa
negara demokratis mengizinkan dan memiliki partai politik lokal yang
secara eksplisit memperjuangkan separatisme dan ini tidak dianggap
ilegal asalkan partai itu berusaha mencapai tujuannya secara demokratis
dan damai. Harus dicatat bahwa yang memperjuangkan separatisme ini belum
mencapai tujuan mereka. Di beberapa negara yang memiliki masalah
separatisme, partai politik lokal menjadi alternatif untuk memperkuat
dinamika politik tanpa mengancam keutuhan teritorial negara. Termasuk
di Indonesia, kasus yang ada di Aceh mengenai Partai aceh dimana dia
adalah pergantian nama dari GAM. Selama beberapa waktu GAM terus
menentang pemerintahan yang ada serta menuntut untuk lepas dari NKRI.
Maka untuk mencegah ancaman terhacap keutuhan negara, terjadilah
kesepakatan antara pihak pemerintah dan GAM untuk berdamai. Diantara
butir kesepakatan yang dihasilkan dalam perundingan antara
pemerintahRepublik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki,
Finlandia ada pemberian amnesti kepada anggota GAM berikut pemulihan
hak-hak politik, ekonomi, dan sosial. Rakyat Aceh telah dibodohi dan
dibodohkan secara politik sejak lama. Salah satu bentuk pemulihan hak
politik yang begitu ramai dibicarakan adalah keinginan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) membentuk partai politik lokal di Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD), dan berubahlah nama GAM menjadi Partai Aceh
Dalam
kaitannya dengan pemerintahan di tingkat lokal, organisasi adalah
pemasok aktor aktor yang nantinya akan menjalankan sistem pemerintahan
yang ada di daerah itu. Maka artinya bahwa, wajah atau atau jalannya
pemerintahan akan bergantung pada siapa yang menduduki posisi strategis
dalam kepemerintahan, dalam hal ini adalah latar belakang serta tujuan
dari aktor itu sendiri, dan juga kepentingan organisasi yang ada dibalik
si aktor tersebut. Karena pada dasarnya aktor dan organisasi lokal
adalah dua hal yang akan terus saling berhubungan bahkan akan cenderung
membentuk semacam simbiosis yang tentu saja bertujuan untuk mewujudkan
kepentingan bagi sebagian golongan yang ada dalam sistem pemerintahan.
Selain dari partai politik yang menjadi pemasok dari aktor yang akan
duduk di pemerintahan. Organisasi masyarakat lainnya juga mempunyai
peranan yang hampir sama dengan partai poltik itu tadi. Banyak orang
mengincar posisi tertentu yang ada dalam sebuah organisasi yang memang
sudah menjadi bagian dari system rekruitmen yang
tak terlihat dari proses rekruitmen pemerintahan. Sebagai contohnya
adalah HIPMI, KADIN atau organisasi yang lainnya termasuk juga dengan
organisasi yang berunsurkan agama seperti NU Muhammadiyah dan
sebagainya. Orang orang yang mempunyai niat atau tujuan untuk maju ke
panggung perpolitikkan akan berusaha melalui organisasi organisasi
tersebut agar bisa mencapai dan mewujudkan tujuannya duduk di posisi
pemerintahan. Karena siapapun yang memiliki posisi puncak atau posisi
strategis dalam organisasi itu akan juga mempunyai kesempatan yang besar
untuk masuk ke kancah perpolitikkan di daerah bahkan di kancah
perpolitikan nasional. Hal itu sebenarnya membuat system pemerintahan
yang tidak sehat, karena banyak actor yang ditunggangi oleh kepentingan
kepentingan pribadi baik itu kepentingan si actor sendiri, partai
politik atau organisasi yang ada dibelakangnya. Karena kembali lagi ke
pernyataan yang telah disebut diatas tadi bahwa actor dan organisasi
local-lah yang nantinya akan membentuk elit local di suatu daerah.
Menurut Kornelis Lay tujuan pendirian partai politik lokal dapat di kategorikan menjadi 3 yaitu :
1. Hak Minoritas
partai politik lokal yang di dirikan untuk melindungi dan memajukan hak
ekonomi, sosial, budaya, bahasa dan pendidikan kelompok minoritas
tertentu.
2. Memperoleh Otonomi partai
politik lokal yang menginginkan untuk memperoleh otonomi bagi daerah
mereka atau meningkatkan otonomi yang telah dimiliki oleh daerah itu.
3. Mencapai Kemerdekaan partai politik lokal yang memperjuangkan kemerdekaan wilayah mereka dan pembentukan Negara baru.
Pembahasan Masalah
Asal Mula Terbentuknya Gerakan Aceh Merdeka
Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) merupakan salah satu bagian sejarah yang mewarnai
dinamika sejarah di Indonesia. GAM diproklamirkan pada tanggal 4
Desember 1976 oleh Hasan Tiro. Sebenarnya GAM sendiri sebagai wahana
pergerakan baru didirikan pada 20 Mei 1977. Namun Hasan Tiro sendiri
memilih hari lahir GAM adalah pada tanggal yang disebut paling awal,
disesuaikan dengan proklamasi kemerdekaan Aceh Sumatera. Proklamasi ini
dilangsungkan di Bukit Cokan, pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Prosesi
ini dilakukan secara sederhana, dilakukan di suatu tempat yang
tersembunyi, menandakan bahwa awal-awalnya, gerakan ini adalah gerakan
bawah tanah yang dilakukan secara diam-diam.
Bersamaan
dengan proklamasi kemerdekaan, Hasan Tiro juga mengumumkan struktur
pemerintahan Negara Aceh Sumatera. Akan tetapi, kabinet tersebut belum
berfungsi hingga pertengahan 1977, persoalannya adalah karena para
anggota kabinet pada umumnya masih berbaur dengan masyarakat luas untuk
kampanye dan persiapan perang gerilya. Kabinet Negara Aceh Sumatera baru
dapat melaksanakan sidang pertamanya pada 15 Agustus 1977. Sedangkan
upacara pelantikan dan pengumpulan anggota kabinet dilaksanakan pada 30
Oktober 1977 di camp Lhok Nilam pedalaman Tiro, Pidie. Kabinetnya
sendiri pada waktu itu, hanyalah terdiri dari beberapa orang saja,
yaitu: Presiden (Hasan Muhammad Tiro), Perdana Menteri (Dr.Muchtar
Hasbi), Wakil Perdana Menteri (Teungku Ilyas Leube), Menteri Keuangan
(Muhammad Usman), Menteri Pekerjaan Umum (Ir.Asnawi Ali), Menteri
Perhubungan (Amir Ishak BA), Menteri Sosial (Dr.Zubir Mahmud) dan
Menteri Penerangan (M. Tahir Husin).
Latar
belakang kelahiran dan motif-motif yang melahirkan GAM tidaklah sama
dengan kelahiran manusia yang bisa dipastikan dari satu sebab tunggal,
yakni proses prokreasi, maka kelahiran GAM sebagai sebuah peristiwa
tidak disebabkan faktor yang tunggal namun multifaktor. Terdapat
berbagai pendapat yang telah menjelaskan beberapa hal yang menjadi kausa
peristiwa ini, diantaranya:
1. GAM
merupakan lanjutan perjuangan—atau setidaknya terkait—Darul Islam (DI)
Aceh yang sebelumnya pernah meletus pada 1950-an. Tesis ini, didukung
oleh Isa Sulaiman yang menilai keterkaitan GAM dangan DI, karena
persoalan DI tidak diselesaikan secara tuntas. Dukungan para tokoh DI
pada awal lahirnya GAM memperkuat tesis bahwa ada yang belum selesai
pada upaya integrasi yang dibangun oleh Sukarno untuk menyelesaikan
pemberontakan DI/TII Daud Beureueh. Dalam hal ini GAM mewarisi atas
ideologi DI/TII sehingga isu utama dari adanya pemberontakan ini yakni
dalam rangka menjunjung tinggi hak dan kewajiban warganya (tujuan negara
menurut Imanuel Kant) yang notabennya berbudaya islam sehingga perlulah
adanya suatu wadah islam di wilayah Aceh khususnya. Hal ini bisa
terlihat dengan fakta bahwa meskipun Aceh belum terbentuk dalam tanah
kenegaraan namun Aceh diberikan hak khusus untuk membentuk sistem
syariat islam dalam wilayahnya oleh NKRI.
2. Faktor
ekonomi, yang berwujud ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara
pusat dengan daerah. Pemerintahan sentralistik Orde Baru menimbulkan
kekecewaan berat terutama di kalangan elite Aceh. Pada era Soeharto,
Aceh menerima 1% dari anggaran pendapatan nasional, padahal Aceh
memiliki kontribusi 14% dari GDP Nasional. Terlalu banyak pemotongan
yang dilakukan pusat yang menggarap hasil produksi dari Aceh. Sebagian
besar hasil kekayaan Aceh dilahap oleh penentu kebijakan di Jakarta.
Meningkatnya tingkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada
1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 miliar US Dolar tidak memperbaiki
kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh.
3. Meskipun
faktor ekonomi memang berpengaruh terhadap lahirnya GAM. Tetapi hal
ersebut hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kromosom yang
dikandung sel sperma yang akan membuahi sel telur, hingga akhirnya
melahirkan GAM. Kalau permasalahannya hanya faktor ekonomi, maka
tuntutannya tidak akan kemerdekaan. Faktor ekonomi pasti akan
diselesaikan dengan tuntutan yang bisa menghasilkan keuntungan ekonomi
bagi pihak Aceh. Sel sperma yang sesungguhnya dalam kelahiran GAM adalah
ketidakadilan yang dirasakan oleh pihak Aceh. Sel ketidakadilan ini
berisi kromosom yang berupa ketidakadilan di bidang ekonomi, politik,
dan berbagai ketidakadilan lainnya. Faktor ketidakadilan inilah yang
merupakan faktor ketiga dari sebab kelahiran GAM.
Sel
telur yang siap dibuahi dalam kelahiran GAM adalah identitas keAcehan
yang dimiliki secara kuat dan mendalam oleh bangsa Aceh. Hasan Tiro
meyakni bahwa Aceh merupakan identitas tersendiri, yang memiliki sejarah
dan jati diri yang kuat. Oleh karenanya, kedaulatan Aceh yang sudah
dimiliki ratusan tahun yang lalu harus dikembalikan. Telah nyata bahwa
bangsa Aceh memiliki kebanggaan atas dirinya sebagai bangsa yang tidak
mudah tunduk, atau mempunyai harga diri yang tinggi. Memiliki keyakinan
bahwa bangsanya adalah bangsa pejuang, yang tidak boleh direndahkan oleh
pihak luar. Bangsa yang memiliki pahlawan-pahlawan yang pantang
menyerah dan siap berkorban untuk kepentingan negerinya. Bangsa yang
memiliki cita-cita mati mulia dalam keadaan syahid. Semua gambaran atas
dirinya yang bisa terrefleksikan dalam hikayat perang sabil. Identitas
ini semakin diperkuat dengan berbagai ketidakadilan yang ada dan sikap
meng-kaphe-kan orang non Aceh, terutama orang Jawa, sebagai kolaborator
penguasa Indonesia atas tanah Aceh. Bertemunya sel sperma dan sel telur
ini, menghasilkan janin nasionalisme dalam rahim sejarah. Nasionalisme
Aceh akhirnya mencuat ke permukaan, baik dalam bentuk paling moderat ke
arah referendum penentuan nasib sendiri (yang kemungkinan besar memilih
opsi kemerdekaan) hingga jalan radikal berupa separatisme. Nasionalisme
Aceh sangat terhubung dengan kekecewaan luar biasa atas Jakarta.
Nasionalisme ini sendiri sebenarnya dimunculkan oleh kegagalan Indonesia
dalam menguraikan konsepsi kebangsaannya. Ditambah dengan penguasaan
atas sumber daya politik dan ekonomi Aceh, terlebih kelak ketika
diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) yang represif. Nasionalisme
Aceh menguat menjadi satu pikiran sederhana: Indonesia adalah common
enemy bagi rakyat Aceh.
Analisis
tentang faktor kelahiran GAM yang disebabkan oleh munculnya
Nasionalisme Aceh ini bisa dilihat dari kesaksian Hasan Saleh. Ia
merupakan mantan Menteri Pertahanan/Panglima Tentara Islam Indonesia era
perlawanan DI/TII, namun menolak untuk berjuang dan mendukung GAM.
Setelah terdengar desas-desus pemberontakan kembali terdengar, ia
dibujuk oleh Jalil Amin untuk turut serta dalam gerakan ini. Hasan Salah
bertanya kepada Jalil Amin mengenai tujuan gerakan ini.
Organisasi
politik adalah organisasi atau kelompok yang bergerak atau
berkepentingan atau terlibat dalam proses politik dan dalam ilmu
kenegaraan, secara aktif berperan dalam menentukan nasib bangsa
tersebut. Organisasi politik dapat mencakup berbagai jenis organisasi
seperti kelompok advokasi yang melobi perubahan kepada politisi, lembaga
think tank yang mengajukan alternatif kebijakan, partai politik yang
mengajukan kandidat pada pemilihan umum, dan kelompok teroris yang
menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Dalam pengertian
yang lebih luas, suatu organisasi politik dapat pula dianggap sebagai
suatu sistem politik jika memiliki sistem pemerintahan yang lengkap.
Berbagai
harapan itu dilakukan menurut aturan dan norma yang sudah ada, Dan
untuk menganalisa “Peran Crisis Management Initiative (CMI) dalam
Menangani Konflik GAM di Nanggroe Aceh Darusalam” teori peran juga harus
memperhatikan diantara ketiganya yang ada harapan tersebut.
Dalam
kaitannya dengan konflik GAM yang terjadi di Aceh, seperti Crisis
Management Initiative (CMI) merupakan sebuah organisasi Internasional
yang berperan dalam penyelesaian Gerakan Aceh Merdeka. Peranan CMI dalam
penyelesaian konflik tersebut merupakan perilaku politik yang
diharapkan dari pihak lain. Peran tersebut merupakan yang didapat karena
permintaan kedua belah pihak, Yaitu GAM-RI. Dengan kata lain peranan di
dapat karena di undang oleh pihak lain bukan inisiatif sendiri. CMI
menyepakati permintaan GAM-RI untuk
datang ke Indonesia dan berusaha membantu menyelesaikan permasalahan
yang terjadi di indonesia. Hal ini sesuai dengan tujuan pokok dari
lembaga non-goverment ini, yaitu membantu masyarakat Internasional
keluar dari krisis Internasional mulai dari isu kemanusiaan sampai
dengan soal keamanan dan pembangunan .
Berdasarkan
dari tujuan pokok itulah, CMI membantu pemerintah Republik Indonesia
untuk menangani konflik Gerakan Aceh Merdeka yang terjadi di Nanggroe
Aceh Darussalam yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia.
Konflik
GAM yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu
interaksi yang terjadi akibat adanya perbedaan kepentingan, gagasan,
serta kebijaksanaan diantara NAD dan GAM. Perbedaan kebijakan
pengalokasian Sumber Daya Alam antara daerah dan pusat mengakibatkan GAM
menginginkan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam
konflik GAM, fasilitator di pegang oleh pihak CMI yang memfasilitatori
terwujudnya perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam dengan di tanda
tangani MoU Helsinki antara GAM dan RI . Dan CMI memberikan bantuan
melalui diskusi atau perundingan damai yang menghasilkan solusi berupa
kesepakatan bersama antara kedua belah pihak , dalam hal ini adalah
antara RI atau NAD dengan GAM.
Implementasi Teokrasi dalam Negara Aceh Merdeka
Kiranya
penerapan teokrasi di Negara Aceh lebih identik mencondongkan dirinya
terhadap arahan teokrasi di Negara-Negara Timur Tengah dikarenakan
terdapat dominasi islamisme di dalam pergerakannya. Adanya ruh warisan
ideologi Daud Beureuh yang diinternalisasi oleh Hasan tiro memberikan
suatu ideologi pergerakan GAM dalam rangka menggapai Negara Aceh
Merdeka. Meskipun tidak dapat dipungkiri nasionalisme kesukuan Aceh pun
kerap sekali dipergunjingkan, dengan adanya faktor-faktor yang
sebelumnya dibahas dalam makalah ini.
Adanya
intervensi masyarakat aceh dengan kesadaran religi yang kuat memberikan
dukungan yang cukup besar terhadap pergerakan ini guna mencapai Negara
Aceh Merdeka. Kiranya Negara Aceh Merdeka dapat pula dikatakan embrio
gerakan-gerakan separatis sebelumnya yang akan terlahir bilamana kondisi
kedaulatan NKRI terus seperti ini. Meskipun upaya-upaya NKRI berusaha
memberikan fasilitasnya, di wilayah tersebut, seperti: adanya mahkamah
syari’at, pewajiban beberapa syari’at islam, dan sebagainya.
Namun
bukan itulah yang diharapkan oleh teokratisme GAM, akan tetapi
berlepasdirinya dari NKRI yang diharapkan, karena pandangan sekularis
yang kental dalam tubuh NKRI sehingga bilamana dikaitkan dengan
pernyataan Imanuel Kant bahwa terbentuknya negara karena ingin kebebasan
memperoleh hak dan kewajiban, kranya hal itu dapat dilakukan oleh
eksistensinya Negara Aceh Merdeka yang secara ideologi meletakkan
landasan gerakannya berupa landasan islam.
Penutup
A. Kesimpulan
Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) merupakan salah satu bagian sejarah yang mewarnai
dinamika sejarah di Indonesia. GAM diproklamirkan pada tanggal 4
Desember 1976 oleh Hasan Tiro. Sebenarnya GAM sendiri sebagai wahana
pergerakan baru didirikan pada 20 Mei 1977. Namun Hasan Tiro sendiri
memilih hari lahir GAM adalah pada tanggal yang disebut paling awal,
disesuaikan dengan proklamasi kemerdekaan Aceh Sumatera. Proklamasi ini
dilangsungkan di Bukit Cokan, pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Prosesi
ini dilakukan secara sederhana, dilakukan di suatu tempat yang
tersembunyi, menandakan bahwa awal-awalnya, gerakan ini adalah gerakan
bawah tanah yang dilakukan secara diam-diam.
Tujuan
berdirinya gerakan ini lebih mengarah terhadap konsepsi tujuan negara
yang diajukan oleh Imanuel kant bahwa negara berfungsi memberikan
kebebasan memperoleh hak dan [kewajiban warganya. Dalam hal ini kultur
masyarakat Aceh yang islami memberikan ruh ideologis dalam membentuk
Negara Aceh merdeka yang dinaungi atas payung teokrasi. Yang mana
menjadikan kedaulatan satu-satunhya berada di tangan Tuhan (Allah SWT).
Saran
Pemerintah
harus mengambil keputusan yang tepat dan bertindak tegas terhadap
gerakan separatis itu, agar kedaulatan NKRI tetap dapat dipertahankan.
Sudah terlalu lama rakyat menunggu terwujudnya keamanan dan kedamaian di
negeri ini, khususnya di provinsi Aceh. Jangan sampai apa yang terjadi
di Aceh menjalar ke daerah lain di negeri tercinta ini.
Komentar
Posting Komentar